Selasa, 22 Maret 2011

Ilmu Pengetahuan sebagai Manifestasi Budaya


Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan di sini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pengembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disadari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit atau tidak.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dari saling mempengaruhi. Pada suatu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terpadu secara intim dengan keseluruhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, kata Talcot Parsons, mereka saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda. Pertama, ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa. Pada kenyataannya kedua fungsi ini terpadu satu sama lain.
Pengkajian pengembangan kebudayaan nasional kita tidak dapat dilepaskan dari pengembangan ilmu. Dalam kurun dewasa ini yang dikenal sebagi kurun ilmu dan teknologi, kebudayaan kita pun tak terlepas dari pengaruhnya, dan mau tidak mau harus ikut memperhitungkan faktor ini. Sayangnya yang lebih dominan pengaruhnya terhadap kehidupan kita adalah teknologinya yang merupakan produk dari kegiatan ilmiah. Sedangkan hakikat keilmuan itu sendiri yang merupakan sumber nilai yang konstruktif bagi pengembangan kebudayaan nasional pengaruhnya dapat dikatakan minimal sekali.
Untuk itu, maka pengkajian kita akan difokuskan pada usaha untuk meningkatkan peranan ilmu sebagai sumber nilai yang mendukung akan dikaji hakikat ilmu dan nilai-nilai yang dikandungnya serta pengaruhnya terhadap pengembangan kebudayaan nasional. Setelah itu akan dipikirkan langkah-langkah yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan peranan keilmuan.

A. Manusia dan Pengetahuan
Manusia sejak lahir memiliki pengetahuan, ada yang diperoleh secara fitrah, ada pula yang diperoleh melalui proses belajar seperti dipelajari dari lingkungan sosialnya diterima melalui panca inderanya. Belajar juga dalam arti formal yang melalui lembaga-lembaga pendidikan yang telah dirancang secara berjenjang.
Pengetahuan yang diperoleh secara alamiah belum disebut ilmu, karena belum tersusun secara sistematis dan tidak bermetode. Pengetahuan itu hanya akumulasi pemahaman yang direkam memori manusia. Pengetahuan  lebih luas daripada ilmu, tetapi ilmu sudah tersusun rapi dan bermetode. Semua pikiran dan pemahaman kita yang diperoleh tanpa melalui daur “hipotetika dedukto verifikatif” bukan ilmu, kesemuanya itu adalah pengetahuan. Jadi pengetahuan itu sifatnya dogmatis atau banyak bertumpu pada spekulasi, sehingga tidak berpijak pada empiris. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana seharusnya menyusun ilmu pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang disebut “epistimologi” yang landasannya disebut “metode ilmiah”.
Setiap ilmu pengetahuan masing-masing mempunyai ciri-ciri spesifik disebut ontologi (apa itu ilmu), epistimologi (bagaimana ilmu itu diperoleh) dan aksiologis (untuk apa ilmu itu didapatkan).

B. Ilmu sebagai Suatu Cara Berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari proses berpikir. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada hakikatnya mencakup dua kriteria utama yakni, pertama, berpikir ilmiah harus mempunyai alur jalan pikiran yang logis dan, kedua, pernyataan yang bersifat logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris. Persyaratan pertama mengharuskan alur jalan pikiran kita untuk konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada sedangkan persyaratan kedua mengharuskan kita untuk menerima pernyataan yang didukung oleh fakta sebagai pernyataan yang benar secara ilmiah. Pernyataan yang telah teruji kebenarannya ini kemudian memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematik dan kumulatif. Kebenaran ilmiah ini tidaklah bersifat mutlak sebab mungkin saja pernyataan yang sekarang logis kemudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru atau pernyataan yang sekarang didukung oleh fakta ternyata kemudian ditentang oleh penemuan baru. Kebenaran ilmiah terbuka bagi koreksi dan penyempurnaan.
Dari hakikat berpikir ilmiah tersebut maka kita dapat menyimpulkan beberapa karakteristik dari ilmu. Pertama ialah bahwa ilmu mempercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Walaupun demikian maka berpikir secara rasional ini pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar sampai kepada kesimpulan yang dapat diandalkan. Untuk itu maka ilmu mempunyai karakteristik yang kedua yakni alur jalan pikiran yang logis yang konsisten dengan pengetahuan yang telah ada. Walaupun demikian, maka tidak semua yang logis itu didukung fakta atau mengandung kebenaran secara empiris. Untuk itu maka ilmu mensyaratkan karakterisitik yang ketiga yakni pengujian secara empiris sebagai kriteria kebenaran obyektif. Pernyataan yang dijabarkan secara logika dan teruji secara empiris lalu dianggap benar secara  ilmiah dan memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah. Walaupun demikian tidak ada jaminan bahwa pernyataan yang sekarang benar secara ilmiah kemudain lalu tidak shahih lagi. Untuk itu, maka ilmu mensyaratkan karakteristik keempat yakni mekanisme yang terbuka terhadap koreksi.

C. Ilmu sebagai Asas Moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, atau secara lebih sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikir. Kriteria kebenaran ini pada hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan. Artinya dalam menetapkan suatu pernyataan apakah itu benar atau tidak maka seorang ilmuan akan mendasarkan penarikan kesimpulannya kepada argumentasi yang terkandung dalam pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu. Hal ini sering menempatkan kaum ilmuan dalam posisi yang bertentangan dengan pihak yang berkuasa yang mungkin mempunyai kriteria  kebenaran yang lain. Kriteria ilmuan dan politikus dalam membuat pernyataan adalah berbeda seperti yang dinyatakan ahli fisika Szilard: jika seorang ilmuan mengatakan sesuatu maka rekan-rekannya pertama sekali akan bertanya apakah yang dinyatakannya itu mengandung kebenaran atau tidak. Sebaliknya, jika seorang politikus mengatakan sesuatu maka rekan-rekannya pertama sekali akan bertanya, “Mengapa ia menyatakan hal itu?”, dan baru kemudian, atau bahkan mungkin juga tidak, mereka mempertanyakan apakah pernyataan itu mengandung kebenaran.
Di samping itu, kebenaran bagi kaum ilmuan mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan yang universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional maka ilmuan tidak mengabdi golongan, klik pilitik atau kelompok-kelompok lainnya. Secara internasional kaum ilmuan tidak mengabdi ras, ideologi, dan faktor-faktor pembatas lainnya.
Dua karakteristik ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuan yakni meninggikan kebenaran dan pengabdian secara universal. Tentu saja dalam kenyataannya pelaksana asas moral ini  tidak mudah sebab sejak tahap perkembangan ilmu yang sangat awal kegiatan ilmiah ini dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dari luar. Hal ini, menurut Bachtiar Rifai, lebih menonjol lagi di negara-negara yang sedang berkembang, karena sebagian besar kegiatan keilmuan merupakan kegiatan aparatur negara.

D. Nilai-nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional
Sampailah kita kepada tujuh nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan yakni kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal.
Dalam pembentukan karakter bangsa, sekiranya bangsa Indonesia bertujuan menjadi bangsa yang modern, maka ketujuh sifat tersebut akan konsisten sekali. Bangsa yang modern akan menghadapi berbagai permasalahan dalam bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, ilmu/teknologi, pendidikan dan lain-lain yang membutuhkan cara pemecahan masalah secara kritis, rasional, logis, obyektif, dan terbuka. Sedangkan sifat menjunjung kebenaran dan pengabdian universal akan merupakan faktor yang penting dalam pembinaan bangsa (nation building) di mana seseorang lebih menitikberatkan kebenaran untuk kepentingan nasional dibandingkan kepentingan goglongan. Bukan saja seni namun juga ilmu dalam hakikatnya yang murni bersifat mempersatukan.
Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembanagn kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta penumbuhan nilai-nilai yang baru yang fungsional. Untuk terlaksananya kedua proses dalam pengembangan nasional tersebut maka diperlukan sifat kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal. Pengabdain universal ini, dalam skala nasional, adalah orientasi terhadap kebenaran tanpa ikatan primordial yang mengenakan argumentasi ilmiah sebagai satu-satunya kriteria dalam menentukan kebenaran.
Sebagai bangsa maka kita masih berada dalam tahap “menjadi” dimana semangat pionir dan kepahlawanan masih diperlukan. Semangat pionir dan kepahlawanan berkaitan erat dengan keberanian dan sikap sosial. Semangat pionir dan kepahlawanan itu dapat didefenisikan sebagai keberanian untuk memperjuangkan kepentingan umum. Ilmu mengajari kita tentang keberanian moral untuk mempertahankan apa yang dianggap benara dengan ilmu merupakan arena dari “petualangan idea” dimana semangat pionir dapat menjelajah secara leluasa dalam mengabdi tanah air kita.

E. Kebudayaan dan Pendidikan
Allport, Vernon, dan Lindzey (1951) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik, dan agama. Yang dimaksudkan dengan nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme, dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan kepada manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antar manusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transdental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi. Setiap kebudayaan mempunyai skala hirarki mengenai mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting dari nilai-nilai tersebut di ata serta memepunyai penilaian tersendiri dari tiap-tiap kategori.
Berdasarkan penggolongan tersebut di atas maka masalah pertama yang dihadapi oleh pendidikan ialah menetapkan nilai-nilai budaya apa saja yang harus dikembangkan dalam diri anak kita. Pendidikan yang dapat diartikan secara luas sebagai usaha yang sadar dan sistematis dalam membantu anak didik untuk mengembangkan pikiran, kepribadian dan kemampuan fisiknya, mengharuskan kita setiap waktu untuk mengkaji masalah itu. Hal ini harus dilakukan disebabkan oleh dua hal yakni, pertama, nilai-nilai budaya yang harus dikembangkan dalam diri anak didik kita haruslah relevan dengan kurun zaman di mana anak itu akan kelak hidup dan, kedua, usaha pendidikan yang sadar dan sistematis mengharuskan kita untuk lebih eksplisit dan definitive tentang hakikat nilai-nilai budaya tersebut. Keharusan kita untuk bersifat eksplisit dan definitive ini disebabkan gejala kebudayaan, yang meminjam perkataan Hall, lebih banyak bersifat tersembunyi (implisit) daripada terungkap (eksplisit), dan anehnya, hakikat kebudayaan itu justru lebih tersembunyi bagi anggota masyarakatnya. Gejala yang kelihatannya bersifat paradox ini mungkin tidak mengherankan lagi bila diingat bahwa banyak aspek kebudayaan yang kita terima begitu saja tanpa pengenalan dan pendalaman dasar.
Masalah ini lebih serius lagi kalau diperhatikan bahwa pada kenyataannya nilai-nilai budaya yang disampaikan lewat proses pendidikan bukan nilai-nilai budaya yang diperlukan oleh anak didik kita kelak di mana dia akan dewasa dan berfungsi dalam masyarakat melainkan nilai-nilai konvensional yang sekarang berlaku yang didalami dan dipraktekkan oleh orang tua dan guru mereka selaku pendidik.
Untuk menentukan nilai-nilai mana yang patut mendapatkan perhatian kita sekarang ini maka pertama sekali kita harus dapat memperkirakan skenario dari masyarakat kita di masa yang akan datang. Skenario masyarakat Indonesia di masa yang akan datang tersebut, memperhatikan indikator dan perkembangan yang sekarang ada, cenderung untuk mempunyai karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1.      Memperhatikan tujuan dan strategi pembangunan nasional kita maka masyarakat Indonesia akan beralih dari masyarakat tradisional yang rural agraris menjadi masyarakat modern yang urban dan bersifat industri.
2.      Pengembangan kebudayaan kita ditujukan ke arah perwujudan peradaban yang bersifat khas berdasarkan filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila.
Karakteristik pertama mengharuskan kita untuk memusatkan perhatian kepada nilai-nilai yang relevan dengan masyarakat modern
yang sedang dikembangkan. Dibandingkan dengan masyarakat tradisional maka masyarakat modern mempunyai indikator-indikator sebagai berikut:
1.    Lebih bersifat analitik
2.    Lebih bersifat individual daripada komunal
Indikator pertama memberikan tempat yang penting kepada nilai teori dan nilai ekonomi. Nilai teori ini terutama sekali berkaitan erat dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi. Sedangkan nilai ekonomi berpusat kepada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara lebih efektif dan efisien berdasarkan kalkulasi yang bertanggung jawab umpamanya pola konsumsi masyarakat. Indikator kedua menimbulkan pergeseran dalam nilai sosial dan nilai politik. Kedua nilai ini harus lebih berorientasi kepada kepercayaan diri serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri.
Pengembangan kebudayaan nasional kita ditujukan ke arah terwujudnya suatu peradaban yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita bangsa Indonesia. Pancasila yang meupakan filasafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan dasar bagi pengembangan peradaban tersebut. Namun untuk mewujudkan peradaban tersebut diperlukan nilai khusus yang bernama kreativitas.

F.  Keutamaan Ilmu untuk Kemanusiaan
Ada ungkapan mengatakan, menuntut ilmu kemudian diamalkan secara ikhlas akan menciptakan keuntungan dan kebahagiaan. Suasana kebahagiaan merupakan dambaan setiap insan. Keberhasilan mencapainya hanya mungkin dengan menggunakan ilmu memperoleh amal sekaligus. Menuntut ilmu lebih mulia dari amal, tetapi amal adalah buah daripada ilmu dan menyempurna daripadanya. Ada ungkapan yang mengatakan, “ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon tiada berbuah”.
Amal dapat menghilangkan buruk yang tidak pantas pada manusia. Olehnya itu, menuntut ilmu merupakan usaha mendapatkan sesuatu yang berguna. Menghilangkan yang buruk merupakan usaha untuk mengosongkan ruang dalam jiwa yang siap diisi sesuatu amalan-amalan yang lebih baik.
Ilmu dihubungkan dengan amal ada dua macam yaitu ilmu yang bersifat teoritis dan praktis. Ilmu teoritis yang bermacam-macam memiliki perbedaan bagi setiap proses masa. Ilmu teoritis bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan memahami segala sesuatu yang pada hakekatnya menambah pengetahuan. Sedangkan ilmu praktis langsung akan dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia.

0 komentar:

Posting Komentar